Sabtu, 30 Maret 2013

Ilmuwan "Sulap" Karbon Dioksida Jadi Bahan Bakar

Tim peneliti dari University of Georgia berhasil mengembangkan cara baru memanfaatkan karbon dioksida di atmosfer dan mengubahnya menjadi bahan bakar dan produk lain yang bermanfaat.

"Pada dasarnya, yang kami lakukan adalah menciptakan mikroorganisme yang mengubah karbon dioksida persis seperti bagaimana tumbuhan melakukannya, menyerapnya, dan menghasilkan sesuatu yang berharga," kata Michael Adams dari Bioenergy Systems Research Institute University of Georgia.

Tumbuhan seperti diketahui mengubah karbon dioksida menjadi glukosa dengan bantuan sinar Matahari dan air. Glukosa tersebut bisa diproses menjadi etanol lewat fermentasi. Namun, proses secara langsung sulit sebab glukosa tersembunyi pada bagian dalam tumbuhan.

"Penemuan ini berarti kita berupaya menghilangkan tumbuhan sebagai pihak tengah," ungkap Adams yang telah memublikasikan hasil penelitiannya di Proceedings of the National Academies of Sciences, Senin (25/3/2013).

"(Dengan metode ini) kita dapat mengambil karbon dioksida langsung dari atmosfer dan mengubahnya menjadi produk lain seperti bahan bakar dan bahan kimia tanpa harus melewati proses yang tidak efisien seperti menumbuhkan tanaman dan ekstraksi karbon dioksida dari biomassa," katanya.

Tim peneliti merekayasa materi genetik mikroorganisme pemakan karbohidrat, Pyrococcus furious, yang tumbuh subur di laut dalam, dekat ventilasi hidrotermal. Mikroba itu dibuat mampu mengonsumsi karbon dioksida pada lingkungan dengan suhu yang jauh lebih rendah.

Setelah berhasil membuat strain baru dari bakteri tersebut, peneliti menggunakan gas hidrogen untuk menghasilkan reaksi kimia di dalam tubuh mikroorganisme yang akan menggabungkan hidrogen dengan karbon dioksida menjadi asam 3-hydroxypropionic yang digunakan industri kimia secara umum untuk membuat akrilik dan produk lainnya.

Dengan melakukan rekayasa genetika pada strain baru P furiosus, peneliti dapat membuat versi baru dari mikroorganisme hasil rekayasa tersebut yang akan mampu memanfaatkan karbon dioksida menjadi produk industri lainnya, termasuk bahan bakar (fuel).

Adams menambahkan, proses ini adalah langkah pertama yang sangat penting dan menjanjikan guna pengembangan metode produksi bahan bakar yang efisien dan bisa mengefektifkan biaya.

"Ke depannya, kami akan mengembangkan prosesnya dan mulai mencobanya pada skala yang lebih besar," katanya seperti dikutip Physorg

Nusa Lembongan dan Gili Trawangan, Pulau Top di Dunia

Nusa Lembongan dan Gili Trawangan, kedua pulau tersebut masuk di antara pulau-pulau top yang diakui di seluruh dunia. Hal ini berdasarkan pendapat jutaan wisatawan di seluruh dunia oleh TripAdvisor, sebuah situs perjalanan.

Berdasarkan jutaan pendapat dan ulasan dari para wisatawan pada situs ini, penghargaan tersebut memberikan penilaian ke lebih dari 100 pulau di seluruh dunia. Termasuk di dalamnya daftar khusus untuk Afrika, Asia, Karibia, Eropa, Amerika Selatan, Pasifik Selatan, dan Amerika Serikat.

“Baik Anda sedang mencari pulau berpohon nyiur yang berjajar indah, atau pulau-pulau yang menawarkan pengalaman budaya, Anda akan menenukan inspirasi dalam daftar ini,” kata Direktur Pemasaran TripAdvisor, Barbara Messing, dalam siaran pers yang diterima Kompas.com baru-baru ini.

Nusa Lembongan (Bali) dan Gili Trawangan (Nusa Tenggara Barat) masuk dalam daftar 10 urutan teratas pulau di Asia. Nusa Lembongan berada di posisi kedua, sedangkan di posisi pertama Koh Tao, Thailand.

10 Urutan Teratas Pulau-Pulau di Asia:
1. Koh Tao, SuratThani, Thailand
2. Nusa Lembongan, Bali, Indonesia
3. KoLanta, Krabi, Thailand
4. Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
5. Boracay, Visayas, Filipina
6. Phuket, Thailand
7. Koh Samui, SuratThani, Thailand
8. Palawan, Mimaropa, Filipina
9. Langkawi, Malaysia
10. Havelock Island, Andaman dan Nicobar Islands, India

10 Urutan Teratas Pulau-Pulau di Dunia:
1. Ambergris Caye, Belize
2. St. John, U.S. Virgin Islands
3. Bora Bora, French Polynesia
4. San Juan Island, Washington, Amerika Serikat
5. Santorini, Yunani
6. Isla Mujeres, Meksiko
7. Moorea, French Polynesia
8. Koh Tao, Thailand
9. Easter Island, Chile
10. Nosy Be, Madagaskar

5 Bulan Pertamaku Kuliah di MIT

Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) memang menjadi impian banyak anak pintar di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Namun, siapa bilang perguruan tinggi tersohor di dunia itu terlalu tinggi untuk dicapai putra putri Indonesia?

Tak ada yang mustahil, tetapi hanya mereka yang mau bekerja keras saja yang tentu memiliki kesempatan mengecap pendidikan di sana, salah satunya Kevin Soedyatmiko. Melalui Indonesia Mengglobal, Kevin berbagi pengalaman 5 bulan pertamanya di MIT.

Kevin mulai berkuliah di MIT sejak tahun 2011. Dia mengenyam studi S-1 di jurusan Management Science and Economics. Saat ini, Kevin juga menjadi asisten peneliti di MIT.

Tulisan ini memang di-posting pada 20 Maret 2012 lalu, tetapi tetap memberikan wawasan yang luas tentang dinamika pendidikan di MIT. Siapa yang berminat ke MIT? Silakan petik pelajaran dari tulisan ini.

Anda juga bisa seperti Kevin!


Belajar di MIT

Hi guys!

Let me welcome you to IndonesiaMengglobal.com. Sebuah website yang dibuat khusus buat kamu yang tertarik belajar ke luar negeri, khususnya di Amerika. And thanks to Indonesia Mengglobal admin yang sudah memberi kesempatan buat saya menulis di sini.

Well, enough for the introduction. Pada post kali ini, saya akan berbagi pengalaman 5 bulan pertama saya di MIT. 5 bulan? Yup, di sini satu semester kuliah itu sekitar 4 bulan di kalender. Jadi dalam setaon hanya ada 2 x 4 bulan kuliah = 8 bulan. Let me start…

Academics in MIT

People work really hard here. Beberapa teman mengaku hanya menyempatkan diri untuk tidur kurang dari 5 jam per hari. Everyone (or at least most of the students) strive gila – gilaan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Nah ini sebenernya hal yang bagus, tapi di satu sisi yang lain, mahasiswa jadi semacam kiasu, atau egois, atau pelit ilmu satu sama lain.

So, solusinya? MIT sangat cerdik dalam memberikan solusi. And it is the PROBLEM SET (atau dengan kata lain PR). Really? Why? Ya, problem set menjadi satu–satunya cara agar siswa mau berkolaborasi. Problem Set di sini relatively super hard. Biasanya di minggu ke-1 dan ke-2, problem set dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 2 jam. Tapi TIDAK untuk minggu – minggu berikutnya.

Terus, kalo problem set itu super hard, gimana selesaiinnya? Di sini muncul yang namanya kolaborasi antar mahasiswa dan diskusi antara mahasiswa dengan TA (Teaching Assistant atau semacam asdos). You can know lots of new people with this strategy. Biasanya, saya akan merasa puas bila telah menyelesaikannya problem set dengan banyak diskusi. Dan secara ‘magic’, hal itu membuat saya SANGAT mengerti topik pembelajaran yang dibahas di kelas. Dan yang satu ini juga penting, di sini dosennya murah nilai. Mendapatkan nilai A di dalam sebuah kelas, (menurut saya) lebih mudah daripada mendapatkan nilai A di NTU atau NUS. Sekitar 25 – 35 % dari satu kelas akan mendapatkan A. Dan ini juga semakin memacu para mahasiswa mau untuk share “ilmu” satu sama lain, atau dengan kata lain, berkolaborasi.

UROP (Undergraduate Research Opportunity Program)

Research selama undergraduate adalah salah satu hal yang saat ini mulai banyak digencarkan. Terutama buat mereka yang ingin melanjutkan ke PhD program, hal ini merupakan salah satu dari hal terpenting.

Kenapa penting?

Pertama, research dan class material sangat–sangat berbeda. Di dalam research, terkadang kita tidak tahu apa yang kita tuju. Terkadang, hal yang kita dapat tidak sesuai dengan keinginan kita. Dan, buat yang ingin melanjutkan ke PhD, research experience menjadi hal yang sangat penting. Biasanya, (kata orang) saat apply ke PhD program, akan ditanya tentang pengalaman research yang pernah dilakukan.

Kedua, get to know the faculty and other students. Professor di sini sibuk banget, biasanya kalo mau interaksi dengan mereka, salah satu caranya adalah dengan bekerja di lab mereka. Saat kita melakukan riset dengan mereka, kita bisa mengenal mereka dengan lebih baik. Again, ini penting banget, buat yang mau lanjut ke S3, karena professor ini lah yang akan menulis surat rekomendasi. So, UROP adalah sebuah ‘brand’ yang dipakai MIT untuk kegiatan undergrad research ini. 85% mahasiswa sini pernah mengambil program ini selama 4 tahun kuliah. Kita bisa dibayar ataupun mendapat kredit bila bergabung dengan program ini.

Dosen di MIT

Gimana sih dosen MIT ngajar di kelas? Well, kamu bisa lihat di ocw.mit.edu, sebuah web yang sebenernya udah cukup terkenal. Yah, in general, ada kelas yang dosennya bagus (mampu mengajar dan menjelaskan dengan baik), dan ada kelas yang dosennya kurang (biasanya mereka berbicara dengan logat tertentu sehingga buat saya susah menangkap apa yang dibicarakan di kelas, atau terkadang mereka terlalu jago sehingga mahasiswa ga ngerti yang diomongin).

Salah satu dosen terbaik (menurut saya) dari 4 kelas yang saya ambil di semester pertama adalah Eric Lander, professor di kelas intro biologi saya, yang juga advisornya Presiden Barack Obama di bidang sains dan teknologi. Kontribusinya ke Human Genome Project bikin dia listed di daftar 100 orang paling influential di dunia oleh Time magazine. Yang paling penting, dia ‘mampu’ membuat saya menyukai biologi. Di dalam kelasnya, dia sering cerita tentang masa mudanya, tentang penemuan-penemuan yang dia atau temen-temennya temukan. Kadang-kadang, penemuan-penemuan itu ada di buku pelajaran kita!

It’s kind of amazing, isn’t it? Saya bisa belajar dari seseorang yang dulu terlibat dalam proses penemuan hal baru di bidang biologi. Well, even though gw gak akan melanjutkan karier di biologi, tapi ini kasi experience khusus buat gw.

MIT Student

Umm, di sini, mahasiswa itu bener – bener diverse. Kita bisa ketemu mahasiswa dari berbagai ras. Roughly 10 persen itu mahasiswa internasional. Tapi sebenernya, jumlah de-facto nya jauh lebih banyak dari itu. Banyak orang yang hanya punya US green card (instead of US passport). Dan ada juga yang punya US passport karena mereka lahir di US, tapi pada kenyataannya, mereka tidak pernah berada di US sampai waktu mereka kuliah di MIT.

MIT cukup hobi bikin hal–hal yang rada nyentrik. Misalnya, admission decision yang tiap tahun direlease pada pi-day (Maret, 14). Atau, maskot berang–berang (beaver) yang suka ada di tengah jalan buat di ajak foto–foto. Maskotnya dikasi nama Tim The Beaver (Tim simply kebalikan dari MIT, dan beaver dianggep sebagai natural engineer–jangan tanya saya kenapa). Dan juga MIT hacks yang suka bikin hal aneh–aneh (misalnya tempel mainan orang–orangan kecil di mana–mana).

Last but not least, MIT sangat erat dengan engineering culture. Di kaos–kaos, gelas, gantungan kunci, cinderamata dari MIT, tulisan MIT engineer sudah menjadi hal biasa. Meskipun jurusan science di sini juga sangat bagus, tapi somehow MIT identik dengan engineering.

Cukup buat bicara tentang MIT. Now let’s start about Boston. MIT sendiri adanya di kota namanya Cambridge, tapi MIT ini cuman berjarak satu jembatan dengan Boston. Kalo dari sisi MIT yang paling pinggir, kamu bisa lempar batu ketapel ke boston (LOL). Bener–bener deket banget. Boston is a nice city, but it is damn expensive. Ya, semuanya mahal di Boston. Tapi anyways, berikut beberapa tempat yang jadi langganan saya hangout (well, every place is about food ;) ) :

1. Chinatown
Why? Because chinese food di mana–mana murah dan enak. Problem dari US east coast menurut saya, banyak restoran yang tidak mempunyai rasa yang kuat. Jadi, rada–rada hambar makanannya. Dan satu–satunya jalan adalah dengan ke restoran Asia yang belum Americanized. One of the best ones, itu di Chinatown.

2. Quincy Market
Ini lumayan terkenal di US, quincy market itu cukup identik dengan Boston. Jadi dia kaya sebuah food court super gede, yang terdiri dari berbagai macem makanan di dalemnya. Menu gw? Lobster roll. The best roll I’ve ever tasted. Tapi sayangnya rada mahal ($17++), jadinya gak sering–sering dah.

3. Prudential Mall
Mungkin mall terbesar di Boston. Di dalem ada restoran, toko–toko (kebanyakan toko baju dan coklat), serta tempat duduk–duduk. Usually, saya ke sana cuman buat makan sih, kemudian setelah itu pulang.

Sebenernya ada tempat–tempat lain juga, tapi saya jarang ke sana. Kebetulan saya gak terlalu tertarik dengan hal–hal seperti museum atau tempat wisata seperti aquarium (mirip seaworld), jadi yah saya gak bisa komentar tentang hal itu. Di sini ke mana–mana naik train biasanya. Mirip dengan MRT Singapore, cuman mungkin yang ini lebih mahal (kalo jaraknya dekat). Sekali jalan, tarif flat $1,70. Tapi karena gak ada pilihan, yah jadi terpaksa naik kereta deh.

Mudah-mudahan cerita ini agak kasih gambaran tentang sekolah di MIT. See you later! Feel free buat tanya-tanya lewat comments juga :)

 
Editor :
Caroline Damanik