Rabu, 29 Februari 2012

Berwisata ke Bangka, Cobalah Otak-otak Amui

Bagi wisatawan domestik yang singgah ke Pulau Bangka, belum lengkap rasanya jika belum berwisata kuliner khas Bangka. Dari ribuan jenis makanan khas Bangka, Anda mesti mencicipi otak-otak asli Belinyu buatan Amui.
Usaha yang beralamat di Jalan Melintas No 23 Pangkalpinang ini, menyediakan menu otak-otak Belinyu, empek-empek, empiang, talas goreng, es campur, es kacang merah dan aneka oleh-oleh khas Bangka.
Ruko Otak-otak Amui menempati lokasi pinggir jalan, dengan area parkir yang cukup luas. Anda yang membawa rombongan pun tak perlu khawatir kehabisan tempat karena ruangan ruko ini mampu menampung sekitar 100 orang.
Bagaimana soal rasa? Amui, sang pemilik sekaligus yang mengolah langsung menu-menu ini menjamin semua bahan baku dipilih yang berkualitas, mulai dari pilihan ikan tenggiri segar, sagu dan bahan lainnya.
"Untuk menjaga agar pelanggan tetap setia berkunjung, menjaga kualitas makanan menjadi nomor satu," kata Amui kepada Bangkapos.com, Jumat (17/2/2012).
Amui mengaku selalu memantau semua produk yang ia jual. Meski dibantu oleh 10 karyawan, Amui tidak serta merta mempercayakan semua pekerjaan kepada mereka. Untuk itu, mulai dari mengolah bahan baku hingga membentuk empek-empek ia sendiri yang mengerjakan. Bahkan ia mengaku jika ada urusan ke luar kota ia terpaksa menutup sementara tokonya.
"Saya sendiri yang bikin semua menu di sini, karena khawatir jika yang bikin orang lain rasanya akan beda, dan pelanggan pasti komplain," ujarnya.
Benar saja, berkat konsistensinya menjaga kualitas, usaha yang ia bangun sejak tahun 2003 ini berjalan lancar dan sukses. Pesanan otak-otak untuk berbagai acara selalu berdatangan, sekali pesan Amui menyebut bisa puluhan ribu butir otak-otak. Begitu pula dengan pesanan paket ke luar daerah selalu ada.
"Ini adalah usaha turun temurun dari orangtua saya, awalnya saya buka di Belinyu, dan akhirnya diperluas dengan membuka di Pangkalpinang," kata Amui.
Untuk melayani konsumen, dalam sehari Amui bisa menghabiskan bahan baku puluhan kilogram ikan tenggiri. Karena mengolah cukup banyak, Amui menggunakan mesin khusus untuk menggiling bahan baku.
"Kalau pakai tangan nggak kuat, karena sekali bikin bisa lebih dari 20 kilogram, makanya sekarang saya sudah pakai mesin," ujarnya.
Ibu dari 2 anak ini mengaku keuntungan yang diperoleh dari usaha ini cukup lumayan untuk menambah pendapatan keluarga. Ia pun bersyukur kini dua putranya sudah menyelesaikan kuliahnya. Putranya yang tertua kini tengah menempuh pendidikan pilot di Thailand, sementara putra bungsunya telah menamatkan kuliahnya.
"Saat ini kami terus berupaya mengembangkan usaha ini agar bisa lebih maju lagi, sehingga sajian otak-otak ini bisa dijadikan kuliner yang disukai setiap wisawatan yang akan berkunjung ke Pulau Bangka," ujar Amui.

Cantik Nian Masjid di Paris

Masjid Paris! atau Mosquée de Paris, rumah ibadah yang konon berasitektur Spanyol dan Afrika utara ini akhirnya masuk dalam agenda liburan keluarga di Paris. Benar saja, tak hanya cantik menawan namun juga teduh terasa saat memasukinya. Kumandang Azan terdengar meskipun hanya menggema di dalam area masjid namun panggilan shalat itu membuat kalbu terharu....
Liburan sekolah tiba. Dan kota Paris menjadi pilihan kami untuk menghabiskan liburan keluarga sebelum pulang ke tanah air di Indonesia. Sudah kesepakatan, liburan akan diisi dengan acara santai  dan budaya. Dari beberapa daftar yang kami tulis Masjid Paris menjadi tujuan utama kami.
Malu juga hati ini, sebagai umat Islam, setiap kali bertandang ke Paris, masjid yang justru menjadi tujuan utama selalu terlewatkan. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak kan?
Masjid Paris atau di Perancis di sebut dengan Mosquée de Paris, merupakan masjid terbesar di  negara ini. Wajar saja adanya juga di ibukota. Namun bukan yang tertua tertua di Perancis.
Karena itu sebelum bercerita kunjungan saya ke dalam Masjid Paris, saya berbicara sedikit kilas balik mengenai mengapa masjid ini dibangun.
Pada tahun 1856 berdasarkan desakan permintaan dari kaum Muslimin yang bermukim di kota Paris, pemerintahan Perancis mengeluarkan surat izin untuk memberikan lahan di pemakaman Paris Père-Lachaise, yang juga merupakan pemakaman bagi umat Kristiani. Tanah seluas 800 meter diberikan bagi umat Islam untuk memakamkan jenazah dan juga didirikan sebuah masjid kecil sebagai tempat pemandian dan persembahyangan jenazah.
Tempat ini, lebih banyak digunakan oleh bangsa Otoman, keturunan Turki. Tanah yang hanya seluas 800 meter itu, terasa semakin kecil dengan bertambahnya umat Islam yang datang ke Paris. Hingga kaum Muslimin lebih memilih tempat pemakaman di tempat lain atau di negara mereka sendiri. Yang ada kuburan dan masjid menjadi tak terawat karena jarang digunakan.
Proyek baru pun mulai mengalir, seperti renovasi dan pelebaran masjid, sayang dikarenakan Perang Dunia I, gagal terlaksanakan.
Berkat seorang jurnalis Perancis yaitu Paul Boudaire, yang bekerja di surat kabar yang banyak menyinggung masalah penjajahan negara Perancis terhadap negara jajahannya, Paul mengusulkan untuk membangun sebuah masjid yang layak bagi kaum Muslimin. Makanya Paul Boudaire dianggap sebagai bapak dari proyek berdirinya Masjid Paris yang hingga kini berdiri dengan kokoh.
Paul Boudaire, bapak dari pendiri masjid yang justru bukan pemeluk Islam ini dengan antusias  mengusulkan dan mendorong agar proyek pendirian Masjid Paris ini terlaksana sebagai tanda penghormatan bangsa Perancis terhadap kaum Muslimin yang telah banyak memberikan jasa bagi negara Perancis pada masa Perang Dunia I. Memang pada Perang Dunia I, banyak penduduk di negara jajahan Perancis seperti Maroko, Aljazair dan negara di Afrika Utara yang merelakan nyawanya justru demi membela negara jajahannya, Perancis.
Maka usai Perang Dunia I, tepatnya tahun 1922, peletakan batu pertama dilakukan di daerah jardin des Plantes, Paris, yang menjadi lokasi berdirinya masjid sebagai tanda hormat kepada 70.000 umat Muslim yang dianggap sebagai pahlawan Perancis.
Empat tahun kemudian tepatnya tanggal 16 Juli 1926, rumah ibadah dengan insipirasi dari Masjid el-Qaraouiyyin di Fès Maroko yang merupakan salah satu masjid tertua di dunia, resmi didirikan. Presiden Perancis Gaston Doumergue dan Sultan Maroko Moulay Youssef meresmikan masjid terbesar pertama di Paris ini yang kini mendapat gelar sebagai tempat bersejarah sejak 9 Desember 1983.
Saatnya saya bercerita bagaiman kunjungan saya di rumah Allah ini. Paling mudah menuju ke Masjid Paris adalah dengan metro. Berada di wilayah 5 Paris (5eme arrondisement), menuju ke sana mengambil metro 7 dan berhenti di Place Morge. Saat kami keluar dari metro, hanya berjalan sedikit menara masjid setinggi 33 meter langsung terlihat dan tembok putih mengelilingi seluruh area masjid.
Saat kami datang, penjaga masjid langsung mendatangi kami. "Maaf waktu kunjungan hampir usai, jika ingin melihat lebih banyak silakan kembali nanti," katanya.
"Kami datang untuk shalat dzuhur," jawab suami saya, Kang Dadang.
"Ohh, Anda Muslim?" timpalnya.
"Ya, kami sekeluarga Muslim," jawab saya.
"Alhamdulillah, silahkan masuk, Anda boleh lihat-lihat masjid jika berkenan sebelum shalat," tuturnya dengan ramah.
Kami pun memasuki masjid. Suasana asri dan sejuk langsung menyambar pemandangan saya. Saya dan suami pernah mendatangi Masjid el-Qaraouiyyin di kota Fès, Maroko dan memang Mosquée de Paris ini  banyak dipengaruhi arsitekturnya dari sana.
Bagian utama Masjid Paris di tengah-tengahnya berupa taman asri dengan bunga-bunga cantik dan pohon palem. Juga air mancur yang mengalir kebeberapa penjuru di tamannya. Lalu lorong-lorong tempat berbagai keperluan. Seperti madrasah, ruang andmistrasi, ruang pertemuan hingga perpustakaan.
Di bagian kedua masjid, pilar-pilar berbaris sepanjang lorong dengan lantai  keramik dan di tengahnya terdapat teras besar  terbuka. Di bagian kedua inilah ruang ibadah dengan dekorasi dari berbagai dunia Islam menyatu. Masjid Paris bersih dan rapi.
Saat suami saya, Kang Dadang alias David dan anak sulung saya sedang melakukan shalat masjid, saya menjaga si kecil di luar yang tak bisa diam berlari kesana-kemari. Sepatu-sepatu yang ditanggalkan suami dan anak saya begitu saja diluar, juga beberapa pengunjung lainnya, langsung dibereskan oleh pengurus masjid, ditaruhnya dalam rak sepatu. Maklum beberapa masjid di kota saya, Montpellier, rapi dan bersihnya tak sebanding dengan masjid di Paris ini.
Sambil menunggu waktu dzuhur, kami kembali melihat-lihat isi masjid. Ruang perpustakaan sempat menggoda kami untuk melihat-lihat beberapa buku, namun berhubung tak ada orang yang menjaga, urung niat kami untuk mengambil beberapa buku dan melihatnya. Tempat wudhu bagi wanita dan pria terpisah jauh. Wanita berada di dalam dan pria berada di halaman. Baiknya, masjid bisa dijangkau bagi penyandang cacat, mereka yang memakai kursi roda dapat memasuki masjid tanpa kesulitan.
Saya sebenarnya ingin benar bertemu dengan Imam di sini, tapi sayangnya dirinya sedang sangat sibuk saat itu, ditambah lagi harus bersiap-siap untuk menjadi Imam shalat di siang itu. Maka saya berbincang-bincang sedikit dengan pengurus setempat.
Masjid Paris saat ini dipimpin oleh rektor Dalil Boubakeur sejak tahun 1922. Karena di Masjid Paris tak hanya terdapat tempat ibadah saja, namun institut pendidikan juga terdapat. Bahkan saking banyaknya turis yang mengunjungi masjid ini, restoran, salon teh hingga pemandian hamam (uap) juga terdapat. Dan kabarnya, justru tempat hiburan ini yang paling menarik turis dan penduduk setempat untuk mendatanginya.
Saya penasaran, bertanya jika nantinya akankah saya mendengar suara adzan dari menara? "Indahnya memang seperti itu ya? Tapi kita kan hidup di negara yang tak berlandaskan agama, apalagi ini bukan negara Islam, maka adzan berkumandang ke luar dari masjid ini dilarang tentunya," kata pengurus masjid.
Namun, ia melanjutkan, "Tapi nanti Anda akan mendengar adzan juga, yang akan terdengar hanya di area masjid saja".
Sambil ngobrol dengan pengurus masjid, saya lihat dari tadi beberapa turis datang, dan rata-rata berpakaian sopan. Tiba-tiba seorang turis wanita berambut pirang dengan seorang pria, memasuki masjid. Yang jadi masalah, perempuannya pakai celana pendek, super pendek! Alias cuma pantat saja yang ketutup, dan kaos buntung dengan pusar terlihat.
Cepat-cepat petugas masjid mendatangi kedua pasangan tersebut, dengan sopan menyatakan jika waktu berkunjung telah usai, dan saat ini mereka sedang mempersiapkan untuk shalat.
Saat si wanita berkata akan kembali lagi nanti, dengan sangat berhati-hati, si pengurus masjid menjelaskan jika, memasuki rumah Tuhan, berpakaian sopan sangat dianjurkan, layaknya jika Anda memasuki gereja. "Saya rasa di tempat ibadah manapun tertulis peraturan yang sama," tutur petugas masjid kepada wanita seksi tersebut.
Saat kembali untuk meneruskan perbincangan kami, saya selidiki, apakah sering kedatangan pengunjung seksi? Si bapak pengurus hanya tersenyum, sambil berkata, "Yahh namanya juga negara bebas, berpakaian pun ikut bebas, dan saya rasa tinggal bagaimana caranya kami menyampaikan kepada mereka untuk menghormati tempat ibadah, karena kalau anda datang ke gereja pun, sama kan? Kerap tertulis pakaian sopan yang diperbolehkan memasuki gereja," katanya.
Memang benar, saat saya mengunjungi beberapa gereja di beberapa negara, beberapa kali saya melihat, petugas keamanan menolak beberapa pengunjung yang bercelana pendek untuk masuk kedalamnya. Jadi apalagi masjid ya? Yang untuk melakukan ibadah pun harus menutupi badan bagi kaum wanitnya.
Saya sendiri saat datang, tidak berkerudung hanya begitu memasuki masjid, selendang langsung saya pakai untuk menutupi kepala saya. Tapi selebihnya, bagi turis lainnya tak usah mengenakan penutup kepala, yang terpenting pakaian cukup dinilai sopan, bahkan kaus tangan pendek pun bisa menikmati keindahan masjid yang keramik dan dekorasinya asli dibawa dari beberapa negara Islam. Bagi pengunjung bukan Muslim, dikenakan biaya masuk, karena dianggap sebagai turis.
Pengurus masjid berpamitan untuk mempersiapkan waktunya shalat dzuhur. Suami saya yang juga ikutan sibuk cari informasi soal masjid, mendatangi saya.
"Kamu tahu tidak? Pada masa perang dunia kedua, masjid ini dipakai sebagai tempat persembunyian bangsa Yahudi!" tutur si akang bule suami saya.
"Wahhhh, saya nggak tahu, berarti saat itu toleransi agama sangat kental ya? Bayangkan umat Islam menolong kaum Yahudi untuk menyelamatkan nyawa mereka, yang saya tahu sekarang kan terbalik, yang ada perang melulu rebutan tanah," jawab saya.
Obrolan kami terputus saat adzan terdengar. Kami pun melaksanakan niat kami untuk shalat jamaah. Layaknya di Maroko, beberapa wanita melakukan shalat dengan pakaian Muslim mereka, hanya saya seorang yang mengenakan mukena, dan menjadi bahan pertanyaan para wanita muslim dimana bisa mendapatkan mukena seperti ini.....
Usai shalat, tujuan kami adalah mengisi perut yang dari tadi sudah main beduk! Maklum musim panas waktu shalat bergeser siang. Dzuhur baru dimulai pukul 13.30 dan saat itu waktu menunjukan pukul 14.00. Sudah bisa ditebak tentunya, kemana perut ini akan diisi. Apalagi kalau bukan restoran yang masih satu kawasan dengan masjid.
Saat saya memasuki restoran, suasananya bagaikan di Maroko. Dekorasi hingga jenis makanan yang ditawarkan membuat saya serasa kembali ke Maroko. Bagian depan restoran dipakai untuk salon teh, dan teh mint yang dituangkan ala Maroko sudah membuat saya tak sabar untuk segera mencicipi hidangan di restoran ini.
Tajine dan couscous menjadi pilihan kami. Sayangnya....dari mulai waktu menunggu kebagian tempat hingga datangnya makanan pakai acara lamaaaaa banget...! Satu jam kemudian barulah kami bisa mengisi perut, yang ludes dalam hitungan menit, wajar nahan lapar sudah dari tadi he-he-he...
Soal rasa? Lumayanlah dan soal harga? Boleh dibilang cocoklah dengan Paris. Tapi yang paling menyenangkan di restoran ini justru tempat ngetehnya bagi saya... duduk-duduk dengan santai di bawah pohon ditemani dengan teh hangat dan kue manis ala Maroko. Memulai liburan dengan ibadah selain menenangkan juga menyenangkan sekali.

Segarnya Es Dawet Durian di Semarang

Dawet Banjarnegara, manisnya sangat dan segar bukan? Bagaimana kalau ditambah dengan buah durian? Heem, yang jelas makin legit dan nikmat.

Ya,
jika anda kebetulan singgah ke Kota Semarang, tak ada salahnya mencicipi minuman berkuah santan nan kental dan manis legit ini. Tapi yang ini bukan dari Banjarnegara, melainkan Jepara spesial dawet durian.

Minuman ini biasa dijual di atas gerobak. Salah satunya bisa dijumpai di tepian Jalan MT Haryono 720 Semarang. Si penjual, Sokhib (50) perantauan dari Jepara itu sudah berjualan hampir 27 tahun. "Alhamdulillah dari hasil berjualan es dawet ini saya bisa membuat rumah dan anak saya bisa kuliah sampai lulus,'' katanya sambil menyerut es balok.

Satu mangkok dawet durian berisi kuah santan, air gula merah, dawet, tape ketan, potongan buah nangka dan tiga biji durian berdaging tebal. Dawetnya berbahan tepung maizena dan tanpa pewarna. Lebih segar bila ditambah dengan serutan es balok. Cukup dengan Rp 15 ribu anda akan menikmati semangkok es durian yang segar dan lezat. Sangat pas dengan cuaca Semarang yang gerah.

"Buah duriannya pakai yang lokal. Tapi kalau pas tidak musim ya pakai duren montong. Lebih mahal memang, tapi pinter-pinternya kita yang atur supaya harga tak perlu naik,'' ungkapnya.

Penjual dawet durian memang tak sebanyak dawet Banjarnegara yang mudah dijumpai di mana-mana. Tapi semua penjual dawet durian yang ada di Semarang, menurut Sokhib, bisa dipastikan berasal dari Jepara. Sekitar sepuluh orang berasal dari desa Kedungsari Mulyo, Welahan, Jepara, termasuk dirinya. Pada waktu-waktu tertentu mereka akan libur sementara, seperti pada musim tanam dan masa panen. "Kami tetap tidak bisa meninggalkan sawah',' ujar Sokhib.

Minggu, 26 Februari 2012

Berpedas-pedas di Cibiuk

SAMBAL Cibiuk bukan sembarang sambal. Selain punya nilai sejarah, rasanya juga wow...! Segar, tanpa jejak rasa panas di mulut.
Dari kisah turun-temurun, seperti yang diceritakan Manajer Rumah Makan (RM) Cibiuk di Jalan 0to Iskandar Dinata, Garut, Endang Sambas, sambal Cibiuk adalah warisan dari Sheikh Jafar Sidik, tokoh yang disejajarkan dengan wali karena menyebarkan agama Islam di Garut pada abad ke-18.
Setiap kali menyebarkan ajaran agama di rumahnya, Jafar Sidik selalu menjamu tamunya dengan makanan, termasuk sambal yang dibuat salah satu putrinya, Eyang Fatimah. Dari cerita inilah, Fatimah dikenal sebagai orang pertama yang membuat sambal Cibiuk.
Sejak zaman itu pula, hingga sekarang, konon cita rasa sambal Cibiuk tak berubah, yaitu pedas tanpa meninggalkan jejak rasa panas di mulut, sekaligus segar. ”Itu karena cabai rawitnya adalah cabai rawit pilihan,” kata Sambas, sedikit mengungkapkan rahasia sambal Cibiuk yang tak meninggalkan panas di mulut itu.
Selain cabai rawit berukuran besar, atau yang sering disebut cengek domba oleh orang Sunda, bahan lain untuk membuat sambal Cibiuk adalah tomat, kemangi, bawang merah, kencur, garam, dan terasi. Namun, tak seperti sambal pada umumnya yang diulek halus, sambal Cibiuk diulek kasar. Maka, potongan tomat mengkal dan lembaran daun kemangi yang masih utuh membuat sambal ini lebih terlihat seperti lalap.
Ada beberapa variasi sambal yang disediakan rumah makan yang sudah tersebar ke beberapa kota di Jawa Barat dan Jakarta itu. Dalam daftar menunya, di antaranya ada sambal asli Cibiuk hijau, sambal asli Cibiuk merah, dan sambal ceurik yang rasanya ekstra pedas.
Sambal hijau, yang menjadi favorit konsumen, dibuat dari tomat hijau dan cabai rawit hijau atau kekuningan. Sementara sambal merah berbahankan cabai rawit dan tomat merah.
Lalu, demi memenuhi permintaan pelanggan yang tak puas dengan pedasnya sambal hijau dan merah, dibuatlah sambal ceurik dengan rasanya yang ekstra pedas. Saking pedasnya, bisa-bisa Anda dibuat ceurik (nangis) saat mencicipi sambal ini.
”Bahan sambal ceurik sebenarnya sama seperti sambal yang lain. Hanya saja, komposisi cabai rawitnya lebih banyak dan diulek lebih halus,” kata Sambas.
Petualangan mencicipi sambal di tempat yang menjadi pusat dan dapur rumah makan Cibiuk di beberapa kota ini tak terbatas pada sambal asli Cibiuk. Rumah makan yang awalnya berdiri di wilayah Cibiuk ini juga memberi kepuasan lain kepada penggemar sambal.
Tak jauh dari pintu masuk, kita bisa menemukan saung kecil yang di atas mejanya tersaji berbagai jenis sambal, mulai dari sambal mentah, sambal goreng, sambal mangga, sambal kecap, hingga sambal dabu-dabu. Kesemuanya ini disajikan gratis bagi konsumen, lengkap dengan beberapa jenis lalap.
Beragam variasi sambal ini begitu nikmat disantap dengan masakan khas rumah makan tersebut. Sebut saja berbagai jenis pepes, tumis gencer oncom, gurami bakar cobek, dan menu yang paling terkenal, yaitu ayam bambu.
Selain dibakar dalam bambu, menu ayam bambu ini juga mempunyai keunikan karena diracik bersama bahan yang jarang dipakai untuk memasak, seperti daun pohpohan dan daun belimbing.
”Kami memang memakai bahan yang agak jarang ditemukan, seperti daun pohpohan, daun mamangkokan, dan kiciwis,” kata Sambas, menyebut beberapa jenis daun dan sayuran yang dulunya sering dikonsumsi sebagai lalap atau untuk ditumis.
Pemandangan alam
Kenikmatan menyantap menu di RM Cibiuk semakin lengkap dengan suasana yang disajikan. Rumah makan milik Iyus Ruslan, yang cikal bakalnya berupa warung kecil sewaan ini, memanjakan pembelinya dengan menyediakan tempat bernuansa alam.
Selain deretan kursi dan meja makan di dalam ruangan, pengunjung juga bisa menikmati kuliner khas Cibiuk sambil lesehan, bersantai di saung yang berderet di bagian belakang bangunan rumah makan dan toko oleh-oleh.
Di tempat ini, konsumen diajak menikmati alam dengan adanya sawah dan kolam ikan yang dibuat di depan saung. Seolah tak cukup dengan sawah dan kolam ikan buatan, nuansa alam asli tersaji dengan pemandangan Gunung Guntur yang menjadi halaman belakang rumah makan. Gunung ini adalah salah satu gunung besar yang melingkupi Garut, selain Papandayan dan Cikuray.
”Makan di sini lumayan komplet. Selain bisa menikmati makanannya, kita juga bisa menikmati pemandangan alam,” ujar Dinar, warga Jakarta yang menjelang akhir Desember lalu berlibur ke Garut bersama keluarganya.

Nasi Tempong, Pedas, Pipi Terasa Ditempeleng...

Ingin merasakan nasi sambal dengan rasa cabe yang amat pedas dan sampai merasa pipi ditempeleng datanglah ke Kota Banyuwangi, di ujung timur Pulau Jawa. Karena rasa pedasnya nasi tradisional itu dinamakan nasi tempong yang artinya merasa ditempeleng karena pedasnya.
Nasi tempong adalah nasi yang disajikan bersama lauk tahu, tempe, bakwan jagung goreng, ikan jambal goreng tepung. Ditambahi lalapan sayuran rebus seperti sayuran bayam, kenikir dan daun kemangi. Terakhir sayurannya disiram dengan sambal cabe campur kacang yang sangat pedas. Bau bumbu dapur kencur sangat terasa di sambalnya.
Nasi tempong banyak dijual di seputaran sudut  Kota Banyuwangi dengan harga standar Rp 7.000. Tetapi harga akan berubah  sampai Rp 15.000 tergantung lauk yang dipilih. Kalau ditambahi ayam goreng, ikan kembung atau kikil goreng lauk khas Jawa Timur memang terasa mahal.
Penjual nasi tempong  memang hanya berupa warung-warung kecil ala kaki lima. Salah satunya yang ramai pengunjung adalah Warung Mbak Sum di Jalan Ahmad Yani, Banyuwangi yang sangat strategis lokasinya karena dekat sekali dengan bank-bank pemerintah. Sehingga pas waktu makan siang sangat ramai pengunjungnya.
Warung Mbak Sum hanya ala kaki lima dan bertenda plastik. Meja dan kayu diatur memanjang dengan lauk sudah disiapkan di atas meja. Pengunjung tinggal memilih lauk makanannya.
Mencicipi rasa sambalnya terasa menyengat di lidah pedasnya dan membuat panas di telinga. Usai berpedas-pedas sangat ingin langsung minum es teh sebanyak-banyaknya untuk menghilangkan kepedasan. Nasi tempong sebenarnya sangat sederhana pengaturannya dan sensasi rasa dari sambalnya saja.
Tapi karena rasa pedasnya sambal yang berbau kencur membuat kangen warga Banyuwangi yang merantau ke luar kota. Setiap pulang kampung mereka makan tradisional khas Suku Osing itu untuk merasakan nostalgia makan nasi tempong yang oleh warga Banyuwangi disebut “sego tempong”.
Nasi tempong sering juga disajikan pada acara-acara pengajian dan syukuran warga Banyuwangi di rumah-rumah pribadi. Karena nasi tempong menjadi  menu favorit makanan warga Banyuwangi.

Bena, Kemegahan Warisan Budaya Zaman Batu di Flores

Sebuah kampung tradisional bernama Bena telah menjadi salah satu tujuan wajib saat Anda menyambangi Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sini waktu seakan terhenti dimana kehidupan dari masa zaman batu masih dapat Anda nikmati dan resapi bersama keramahan penduduknya yang mengesankan dengan senyum di mulut yang berwarna merah karena mengunyah sirih pinang. Nikmatilah kemewahan dan kemegahan salah satu warisan budaya Nusantara yang mengagumkan di Bena.
Bertengger dengan berporoskan pada Gunung Inerie (2.245 mdpl), Kampung Bena di Bajawa adalah salah satu dari desa tradisional Flores yang masih tersisa meninggalkan jejak-jejak budaya megalit yang mengagumkan. Desa ini lokasinya hanya 18 km dari kota Bajawa di Pulau Flores. Kota Bajawa yang terletak di cekungan seperti sebuah piring yang dipagari barisan pegunungan. Kota ini banyak dikunjungi wisatawan apalagi cuacanya cukup dingin, sejuk, dan berbukit-bukit, mirip seperti di Kaliurang, Yogyakarta.
Kehidupan di Kampung Bena dipertahankan bersama budaya zaman batu yang tidak banyak berubah sejak 1.200 tahun yang lalu. Di sini ada 9 suku yang menghuni 45 unit rumah, yaitu: suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku Deru Lalulewa, suku Deru Solamae, suku Ngada, suku Khopa, dan suku Ago. Pembeda antara satu suku dengan suku lainnya adalah adanya tingkatan sebanyak 9 buah. Setiap satu suku berada dalam satu tingkat ketinggian. Rumah suku Bena sendiri berada di tengah-tengah. Karena suku Bena dianggap suku yang paling tua dan pendiri kampung maka karena itu pula dinamai dengan nama Bena.
Umumnya warga suku-suku di Bena bermata pencaharian sebagai peladang dengan kebun-kebun menghijau tumbuh di sisi-sisi ngarai yang mengelilingi kampung. Untuk berkomunikasi sehari-hari mereka menggunakan bahasa Nga’dha. Hampir seluruh warga Kampung Bena memeluk agama Katolik namun tetap menjalankan kepercayaan leluhur termasuk adat dan tradisinya.
Saat ini Kampung Bena dihuni 326 jiwa dalam 120 keluarga. Akan tetapi, ikatan adat dari kampung ini lebih luas lagi karena ada ribuan jiwa lainnya yang merupakan keturunan warga Bena bermukim di luar kampung adat. Warga kampung Bena menganut sistem kekerabatan dengan mengikuti garis keturunan pihak ibu. Lelaki Bena yang menikah dengan wanita suku lain maka akan menjadi bagian dari klan istrinya. Khusus untuk wanita di Bena mereka wajib untuk memiliki keahlian menenun dengan bermotifkan kuda dan gajah sebagai ciri khasnya.
Bagi warga Bena, mereka percaya bahwa di puncak Gunung Inerie bersemayam Dewa Zeta yang melindungi mereka. Gunung Inerie setinggi 2.245 mdpl adalah gunung dengan hutan lebat di sebelah baratnya saja. Sementara itu, di lereng bagian selatannya berupa perkebunan. Bagi warga Bena Gunung Inerie dianggap sebagai hak mama (Ibu) dan Gunung Surulaki dianggap sebagai hak bapa (Ayah).
Petualang dan pendaki berdatangan ke Gunung Inerie saat musim kemarau (antara Juni hingga Agustus). Dari atas puncaknya terlihat pemandangan indah dari segala arah termasuk kota Bajawa di sebelah barat laut. Di bagian selatan terlihat birunya Laut Sawu yang menempel rapat di kaki gunung ini. Tahun 1882 dan 1970 Gunung Inerie pernah meletus dan kini meninggalkan jejak keindahan dan kemegahannya dengan bumbu tanah subur di sekilingnya. Perhatikan bagaimana ukuran batang bambu yang tergolong sangat besar tumbuh di sekitarnya gunung ini!
Kegiatan
Di sini dapat Anda puaskan untuk mengamati berhamparan bebatuan megalith tertata untuk upacara adat dengan formasi yang memukau. Temukan kemewahan dan kemegahan budaya dari zaman batu dipertontonkan. Warga Bena sejak dahulu menganggap bahwa gunung, batu, dan hewan-hewan harus dihormati sebagai bagian dari kehidupan.
Saat Anda menjejakkan kaki di beranda depan Kampung Bena maka tersaji pemandangan rumah adat beratap serat ijuk berjejeran nampak berumpak-umpak. Badan kampung memanjang dari utara ke selatan dengan pintu masuk kampung hanya dari utara. Di ujung lainnya di bagian selatan adalah puncaknya sekaligus tepian tebing terjal.
Kampung Bena memiliki panjang 375 meter dan lebar 80 meter. Setidaknya ada lebih dari 45 rumah yang mengelilingi perkampungan ini ditemani keaslian budaya megalit. Perhatikan 9 tingkat ketinggian tanah di kampung ini sekaligus membedakan 9 suku yang mendiaminya dan setiap satu suku berada dalam satu tingkat ketinggian tertentu.
Rumah keluarga inti laki-laki dinamakan sakalobo, berupa patung pria di atas rumah yang memegang parang dan lembing. Sementara itu, rumah keluarga inti perempuan disebut sakapu’u. Anda juga akan melihat banyak tanduk kerbau, rahang dan taring babi dipajang menggantung berderet di depan rumah sebagai lambang status sosial orang Bena. Tanduk, rahang, dan taring babi tersebut berasal dari hewan-hewan yang dikorbankan oleh masing-masing suku saat upacara adat.
Ngadhu bediri di depan setiap rumah adat dimana bangunan ini menjadi simbol nenek moyang laki-laki. Ngadhu adalah rumah berpayung dengan satu tiang kayu yang diukir, akar kayu tersebut harus dibuat bercabang dua dan ditanam dengan darah babi atau ayam. Ngadhu yang beratap serat ijuk ini memiliki tiang tunggal dari jenis kayu khusus yang keras karena berfungsi juga sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika upacara adat.
Seperti juga ngadhu yang berdiri di halaman depan rumah adat Flores, bagha adalah simbol nenek moyang perempuan. Bhaga berupa miniatur rumah adat yang dipersiapkan untuk menerima laki-laki yang menikahi wanita di kampung ini. Setiap rumah adat ditandai dengan ukiran (weti) dan di atapnya terdapat senjata yang berguna untuk melindungi penghuninya dari roh-roh jahat. Miniatur bhaga juga memiliki makna sebagai motivasi hidup bagi anak-anak mereka dan sebagai pengingat bahwa kemana pun mereka pergi maka harus tetap diingat bahwa kampung ini adalah tempat asal mereka. Karena ada 9  suku di Kampung Bena maka terdapat sembilan pasang ngadu dan bagha.
Di tepi paling atas tepat di ujung tertinggi Kampung Bena orang tidak akan mengira ada sebuah tempat yang menyajikan panorama mengagumkan. Dari atas bukit ini jurang mengaga menjembatani rentetan gunung dan Laut Sawu di sebelah kanannya. Pastikan Anda berfoto dengan latar yang luar biasa tersebut.
Mengunyah pinang dan sirih muda dipadu kapur barus adalah kebiasaan sehari-hari yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Mengunyah ramuan ini akan memberi rasa segar dengan bonus jejak warna merah di gigi. Mengunyah sirih pinang tidak mengenal waktu, kegiatan tersebut dapat dilakukan pagi, siang, sore bahkan malam hari. Percampuran antara daun sirih, pinang, kapur, gambir dan sedikit tembakau menghasilkan residunya berupa ludah yang berwarna merah dan sisa-sisa serat dari buah pinang. Rasanya tidaklah manis tetapi pengalaman mencicipinya bisa jadi menorehkan pengalaman termanis saat Anda berkunjung ke Kampung Bena.
Kemiri (Aleuritis molucana) yang dijemur adalah pemandangan yang pasti akan Anda temukan di Bena. Warga Kampung Bena mengolah biji kemiri yang mengandung racun ringan dengan memanaskan tanpa minyak atau air hingga biji hangat. Pemanasan alami dengan menjemurnya di bawah terik Matahari akan menguraikan toksin. Bijinya kemiri dimanfaatkan sebagai sumber minyak dan rempah-rempah dan minyak yang diekstrak dari bijinya dapat digunakan sebagai bahan campuran cat.
Anda dapat menyewa kendaraan untuk berkeliling di Bajawa. Lokasi Kampung Bena sekira hanya 18 km dari kota Bajawa. Pemandangan menuju Kampung Bena diperkaya titik-titik indah panorama alam. Jangan sungkan meminta sopir agar memberitahu sudut-sudut yang bagus untuk mengabadikan keindahan alamnya dengan kamera Anda.
Saat Anda berkunjung ke Bena, ada kesepakatan tidak tertulis agar warga kampung Bena tidak mengganggu wisatawan yang berkunjung ke tempat ini. Akan tetapi, itu jadinya membosankan. Karenanya, beranikan diri menyapa mereka dan nantikan senyum dan keramahan berbinar dari wajah-wajah yang santun itu.