Senin, 07 Oktober 2013

Venesia dari Timur, Riwayatmu Kini...

             SEBUTAN Venesia dari Timur membawa imajinasi tentang keindahan sebuah kota air bernuansa tropis dengan kanal-kanalnya. Imajinasi itu luntur saat menyusuri jalanan di Kota Palembang yang dulu pernah menyandang sebutan itu.

Palembang masih punya Sungai Musi yang eksotis dengan kehidupan tepian sungai. Jembatan Ampera juga masih tegak anggun menghubungkan bagian hulu dan hilir ko
ta itu. Di pelosok kota pun masih tersisa petak-petak rawa dengan hamparan bunga teratai nan memikat, tersembunyi di balik gedung-gedung megahnya.

Namun, sebutan Venice of the East yang pernah disematkan penjajah Belanda pada ibu kota Sumatera Selatan itu begitu berkebalikan dengan kondisi sekarang. Proses daratanisasi atau alih fungsi rawa dan anak sungai menjadi daratan berlangsung di berbagai penjuru kota.

Di era penjajahan Belanda, Palembang merupakan kota di atas rawa dengan ratusan anak sungai yang bermuara ke Sungai Musi. Kehidupan masyarakat pun berjalan dengan pola sosial dan budaya sungai yang khas.

Budayawan dan sejarawan Palembang, Yudi Syarofie, menuturkan, tahun 1940-1950 masih ada pasar terapung di Sungai Ogan, Palembang. Kini jejak pasar terapung itu tak ada lagi. ”Hanya pengangkutan barang ke pasar yang masih dilakukan lewat sungai besar,” katanya.


KOMPAS/AGUS SUSANTO Warga menikmati senja dengan makan di perahu terapung di sekitar jembatan Ampera, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (18/4/2013). Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hingga sekarang, sungai dengan panjang 750 km ini terkenal sebagai sarana transportasi utama bagi masyarakat sekitar.
Saat ini, wajah Palembang sulit dibedakan dari kota-kota besar Indonesia lainnya. Sebuah kota metropolitan berlabel internasional padat dengan gedung-gedung megah, pusat perbelanjaan, perumahan, dan jalan-jalan yang padat merayap pada jam-jam sibuk.

Generasi muda Palembang pun kini makin tak kenal kehidupan sungai. Kondisi ini terutama terlihat di bagian hilir yang lebih dulu berkembang dari bagian hulu. Banyak dari mereka tak bisa berenang, bahkan takut naik ketek (sejenis sampan tradisional) atau kapal cepat (speedboat).

Tarso (49) mengenang, pada masa kecilnya ia masih bisa ke pusat kota Palembang di Demang Lebar Daun hanya dengan naik ketek menyusuri anak sungai. Anak sungai itu kini menjadi hanya sebesar selokan besar.

Daratanisasi di Palembang begitu masif selama dua dekade terakhir. Hamparan rawa-rawa diuruk dan beralih rupa menjadi bangunan perbelanjaan, kantor, dan kompleks perumahan.

TRIBUN PEKANBARU/MELVINAS PRIANANDA Ilustrasi: Jembatan Ampera, Palembang, Sumatera Selatan.
Ahli hidrologi dari Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan Universitas Sriwijaya, Momon Sidik Imanudin, mengatakan, dari penelitian 2011, sekitar 70 persen dari Palembang adalah daratan dan tinggal 30 persen rawa.

Pesatnya penimbunan rawa dua tahun belakangan ini mengakibatkan luas rawa diperkirakan terus menyusut menjadi tinggal 25 persen dari seluruh Palembang yang luasnya sekitar 40.000 hektar. ”Palembang sekarang tak bisa disebut lagi sebagai kota air kecuali saat hujan deras yang membuat banjir di mana-mana,” kata Momon.

Transformasi rawa menjadi daratan ini terlihat di kawasan Jakabaring. Dulu, lahan Jakabaring merupakan hamparan bunga teratai di atas rawa seluas ribuan hektar. Kini, pemandangan itu tinggal kenangan. Kawasan Jakabaring sekarang adalah hamparan pembangunan kompleks perumahan di atas rawa yang telah ditimbun.

Sungai-sungai yang hilang

Wong lamo Palembang atau orang yang telah puluhan tahun bermukim di Palembang hanya bisa mengenang anak-anak sungai yang kini hilang. Tahun 1970-an, Palembang tercatat mempunyai 280 anak sungai. Tahun 2000, jumlahnya tinggal sekitar 108, dan terus menyusut hingga saat ini tertinggal 32 anak sungai.

Sebagian sungai yang hilang itu kini tinggal nama pada jalan atau kawasan, sebut saja Sungai Bayas, Sungai Jeruju, dan Sungai Baung.

”Di pusat kota Palembang ada daerah Talang Jawa yang dulunya daerah pinggiran sungai,” kata Yudi.

Padahal, dulu Kerajaan Sriwijaya mendesain tata kota Palembang sebagai sebuah kota air. Peninggalan tata kota air ini masih bisa terlihat di situs Karanganyar di Palembang yang kini menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Kanal-kanal kuno berusia ratusan tahun saling terhubung dengan Sungai Musi sebagai pintu masuk ke ibu kota kerajaan maritim itu.

Hingga zaman Kesultanan Palembang Darussalam sebelum 1823, tata kota air bertahan dengan rumah-rumah panggung dan pasar-pasar terapung. Saat itu, anak-anak sungai dan rawa menjadi nadi kota yang menghubungkan masyarakat. Seperti Venesia, jalur transportasi dari rumah ke rumah pun menggunakan perahu. Meski pelan-pelan terkikis, kehidupan masyarakat sungai ini terus berlanjut hingga 150 tahun ke depan.

Reynold Sumayku/NGI Pengarungan Sungai Musi, urat nadi peradaban sejak masa Sriwijaya.
Yudi Syarofie mengatakan, awal daratanisasi di Palembang terjadi pada zaman kolonial Belanda. Selama 124 tahun kekuasaan Belanda di Palembang, penjajah itu menguruk dua sungai besar untuk diubah menjadi jalan raya. Sungai Tengkuruk kini menjadi Jalan Jenderal Sudirman, jalan utama Kota Palembang, dan Sungai Kapuran kini menjadi Jalan Merdeka. Namun, di zaman kemerdekaan, Pemerintah Indonesia lebih banyak lagi merusak sungai.

Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, mengatakan, hingga saat ini komitmen pemerintah untuk melestarikan rawa dan sungai tak jelas. Peraturan daerah Kota Palembang terbaru bahkan memperbolehkan adanya alih fungsi rawa menjadi daratan dengan memberikan retribusi tertentu. ”Perda Rawa justru lebih berorientasi pada ekonomi, bukan pada konservasi. Ini mendorong lebih banyak rawa ditimbun,” ujarnya.

Identitas sungai pudar

Kehidupan manusia selalu merespons dengan kondisi alamnya. Demikian pula yang terjadi di Palembang. Budaya sungai yang dulunya menjadi ciri khas Palembang mulai pudar. Generasi muda Palembang yang tak lagi kenal kehidupan sungai menjadi salah satunya.

KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA Para peserta melaju di etape II Musi Triboatton yang mengarungi Sungai Musi dari Tebing Tinggi menuju Muara Kelingi, Musi Rawas, Sumatra Selatan, Selasa (27/11/2012). Pada etape II ini berhasil dimenangi oleh tim Internasional School, disusul Malaysia pada posisi kedua dan Kamboja di tempat ketiga.
Yudi mengatakan, struktur sosial masyarakat Palembang telah jauh berbeda. Tak ada lagi, misalnya, ngobrol di anak tangga atau membersihkan sungai bersama sebagai bagian dari kebersihan lingkungan. Ibaratnya, sungai sekarang justru menjadi tempat sampah raksasa.

”Jiwa sungai di Palembang ini sudah hilang. Identitas Palembang tak lagi punya ciri khas,” ujarnya.

Potensi wisata peradaban sungai pun lenyap. Padahal, di Venesia, wisata peradaban sungai telah membuat kota itu menjadi salah satu tujuan wisata dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar