BERKUNJUNG ke permukiman suku Baduy Dalam di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, wisatawan tak melulu menikmati indahnya panorama. Perjalanan itu juga menimbulkan kesadaran, betapa manusia modern perlu belajar lagi tentang keluhuran nilai-nilai adat yang kian ditinggalkan.
Deru napas kami nyaring terdengar saat menyusuri lembah dan bukit. Letih yang mendera sedikit terobati oleh pemandangan menawan. Di puncak bukit tampak ladang, hutan, dan jalan setapak berkelok-kelok. Beberapa jembatan bambu menjadi obyek lain yang membuat kami terpukau.
Jembatan-jembatan itu bergoyang-goyang, namun tetap kuat dilewati puluhan wisatawan. Beberapa wisatawan perempuan menjerit dan tertawa saat melewati jembatan dengan panjang hingga 50 meter. Tak pelak lagi, jembatan bambu itu menjadi sasaran kami berfoto-foto dan selfie.
”Perjalanan penuh perjuangan, tapi pemandangannya sungguh menakjubkan. Banyak pohon rindang. Sungai pun jernih,” tutur Astuti (34), wisatawan dari Jakarta.
Sore di akhir November 2014 itu, kami yang tergabung dalam rombongan Teropong Adventure dengan anggota 19 orang memulai perjalanan. Sapaan warga sudah menghampiri kami sejak tiba di Terminal Ciboleger, perhentian kendaraan terakhir sebelum berjalan kaki dengan tujuan akhir Baduy Dalam.
Riuh rendah anak-anak menyambut wisatawan, menawarkan tongkat kayu. Tongkat sepanjang 1,5 meter dengan harga hanya Rp 3.000 itu cukup berguna, terutama pada musim hujan seperti saat ini.
Jalur menuju Baduy Dalam memang tergolong berat, terutama saat musim hujan. Jarak sekitar 10 kilometer ditempuh dalam lima jam. Kami tiba di salah satu kampung yang dihuni suku Baduy Dalam, yakni Cibeo, sekitar pukul 20.30.
Warga menerima kami dengan ramah. Di rumah tempat bermalam, rombongan disambut makan malam yang hangat. Kelelahan dan kelaparan sudah tentu membuat kami menyantap hidangan dengan lahap.
Aldi (24), salah seorang warga, berkisah tentang kehidupan sehari-hari Baduy Dalam. Warga tabu menggunakan bahan kimia yang berpotensi mencemari lingkungan. Jika mandi, misalnya, mereka tidak boleh memakai sabun. ”Kami pakai dedaunan dari pohon tertentu, digosok di batu, dan diusapkan di badan. Gosok gigi pakai sabut kelapa,” ujarnya.
Demikian pula pengelolaan sawah tidak menggunakan pupuk kimia. ”Kami pakai daun mengkudu yang ditumbuk dan disebar sebagai pupuk. Bisa juga pakai kulit jeruk atau kotoran ayam,” kata Aldi. Warga juga dilarang menggunakan sarana transportasi apa pun. Mereka berjalan kaki ke mana-mana.
Aldi sudah 12 kali ke Jakarta. Semua perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Padahal, perjalanan dari Baduy Dalam ke Jakarta membutuhkan waktu hingga tiga hari. ”Saya pernah ke salah satu kantor stasiun televisi. Lalu, kami ke Monas (Monumen Nasional). Tim stasiun televisi naik mobil, saya jalan kaki,” kata Aldi tertawa.
Pantangan menggunakan peralatan elektronik membuat permukiman Baduy Dalam terasa hening. Kampung lain yang dihuni Baduy Dalam adalah Cikeusik dan Cikartawana.
Semua warga Baduy Dalam pun mengenakan ikat kepala. ”Warnanya putih. Itu semacam tanda kesucian. Kalau sudah dewasa, ikat kepala harus dipakai. Saat mandi dan tidur saja dilepas,” ujar Sangsang (32), warga Baduy Dalam.
Sangsang menambahkan, warga Baduy Dalam tidak menjual beras yang mereka panen. Beras disimpan di lumbung padi (leuit) untuk mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Strategi ketahanan pangan membuat Baduy Dalam selalu terhindar dari kelaparan.
Singgah di Baduy Dalam mengingatkan kami akan kearifan lokal yang diterapkan dalam keseharian nenek moyang berabad-abad. Baduy Dalam tetap terbebas dari polusi asap knalpot, kontaminasi bahan kimia, dan krisis pangan.
Rasanya belum puas berbincang-bincang dan mengamati kebajikan Baduy Dalam saat hari beranjak siang. Kami harus berkemas-kemas. Selain pengetahuan baru, kami tentu membawa buah tangan saat pulang. Beberapa warga mendatangi rumah tempat kami menginap.
Harga madu Rp 35.000 dalam botol dengan isi sekitar 350 mililiter. Setelah membeli oleh-oleh, kami kembali menyusuri hutan rimbun.
Setelah berjalan kaki empat jam, kami tiba di Terminal Ciboleger untuk naik minibus. Ciboleger berjarak sekitar 40 kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Lebak. Waktu tempuh dari Ciboleger ke Rangkasbitung sekitar dua jam. Sementara jarak Ciboleger dari Jakarta sekitar 130 kilometer dengan waktu tempuh empat jam. Pilihan lain adalah kereta api dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta, ke Rangkasbitung, dilanjutkan dengan angkutan umum ke Ciboleger.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar